Mungkin dari begitu banyak tokoh pewayangan yang paling sering diceritakan Bapak saya adalah Yudhistira,
Anak Sulung Pandawa,(selain itu Kumbakarna dan bambang Sukrasana).
Tentu saja, bapak saya sering menceritakan Yudhistira, karena Yudhistira adalah tokoh favorit dan idolanya,
ia begitu menyukai Yudhistira, sampai – sampai setelah saya besar saya bertanya – tanya
kenapa saya tidak diberi nama Yudhistira.
Hari ini saya membaca catatan pinggir-nya Gunawan Muhamad yang berjudul “Yudhistira”. Dan saya teringat cerita cerita bapak saya.
Yudhistira atau Bapak saya lebih suka menyebutnya Samiaji karena mempunyai arti yang pas menurutnya, Sami Aji…
sama – sama hormat, menghormati sesama.
adalah tokoh pewayangan yang menurut bapak saya paling sempurna.
Darahnya pun putih, karena sangat sabar, tak bisa berbohong, tak bisa menolak permintaan orang lain.
bahkan saat akan Bharatayudha, ia sempat tidak ingin berperang, tetapi akhirnya bersedia
setelah dibujuk oleh Kresna dan saudara -saudaranya.
Bahkan saat ia berjudi dan kemudian kalah pun,
itu bukan karena kesalahannya tetapi karena bujuk rayu dan tipu daya, bukan karena dia yang bersalah.
Ada beberapa kisah yang cukup sering diceritakan oleh Bapak, saat saya kecil, salah satunya,
saat ia harus berbohong kepada Dorna, Guru yang ia hormati,
agar Dorna menjadi lemah dan bisa dibunuh.
Agar ia berteriak bahwa Awatama, putra Dorna, gugur,
walaupun sebenarnya yang mati juga bernama Aswatama tetapi seekor gajah.
Bahkan kebohongannya pun diselimuti dengan sebuah cerita
bahwa ia sebenarnya tidak berbohong karena yang mati
yang mati adalah juga bernama Aswatama, seekor Gajah.
bahkan setelah kematiannya Dorna pun ia menyesali,ia merasa bersalah.
Dan cerita kesempurnaannya pun,semakin sering diceritakan Bapak saya,
Bagaimana ia tidak merasa berhak untuk mengawini Drupadi karena yang memenangkan sayembara adalah Arjuna,
baru setelah dibujuk Kunthi ia bersedia menikahi Drupadi (dalam versi Mahabrata India,
Drupadi dikawini 5 Pandawa supaya adil)
Atau pada saat dicobai oleh Dewa Yama, adik adiknya meninggal semua,
saat ia harus memilih dari 4 adiknya, siapa yang dihidupkan ia memilih Nakula,
agar tidak hanya Putra Kunthi yang hidup tetapi juga Putra Dewi Madrim.
atau mungkin kisah yang bisa menunjukkan kesempurnaan Yudhistira,
di akhir cerita saat ia memilih untuk bersama saudara – saudaranya Pandawa di neraka daripada
tinggal di Surga tetapi hidup bersama Kurawa.
Sebelumnya bahkan ia memilih anjingnya daripada naik kereta kencana langsung ke surga,
karena anjingnya telah setia menemaninya.
Dulu saya selalu antusias dengan mata yang terpesona setiap kali Bapak bercerita tentang Yudhistira.
Dalam bayangan saya ketika saya kecil, Yudhistira adalah sosok yang ganteng, baik,
sempurna, tidak pernah berbohong, sabar,setia dan mencintai adik – adiknya dan menjadi tauladan bagi mereka
(mungkin bapak saya juga berharap saya seperti Yudhistira bagi adik – adik saya, menjadi kakak sulung yang baik)
Tetapi semakin besar saya jadi merasa bahwa Ia sosok yang terlalu sempurna sebagai manusia,
adakah manusia yang bisa sebaik itu dan sesempurna itu?
Saya membayangkan dengan sosok yang begitu smepurna, ia akan menyimpan begitu banyak rasa sakit,
menyimpan kesakitan – kesakitan.
Saya membayangkan saat Bharatayudha selesai, dan kemenangan ada di pihaknya, sambil memandang Kurusetra yang
merah dan penuh dengan jenasah saudara – saudaranya dan prajurit prajurit, apakah ia merasa sakit?
Menyesali peperangan yang telah terjadi dan kemudian merasa sangat bersalah?
Saya membayangkan sambil duduk di singasana, mencium bau amis darah dan tangis anak dan istri prajurit yang gugur,
ia mungkin tepekur.
Ya, di kisah Mahabharata memang diceritakan bahwa Yudhistira menyesali peperangan itu yang akhirnya
diredakan kegelisahnnya oleh Sri Kresna dan Resi Abiyasa.
Tetapi aku tetap membayangkan kegelisahan dan rasa sakit yang mendera dirinya.
Mungkin jika ia hidup di jaman sekarang, bukan di dunia pewayangan, ia akan sangat menderita.
Dan mungkin gara – gara sering diceritakan oleh Bapak saya, ia pun menjadi tokoh favorit saya di dunia pewayangan.