Feeds:
Pos
Komentar

Samiaji atau Yudhistira

Yudistira

Mungkin dari begitu banyak tokoh pewayangan yang paling sering diceritakan Bapak saya adalah Yudhistira,
Anak Sulung Pandawa,(selain itu Kumbakarna dan bambang Sukrasana).
Tentu saja, bapak saya sering menceritakan Yudhistira, karena Yudhistira adalah tokoh favorit dan idolanya,
ia begitu menyukai Yudhistira, sampai – sampai  setelah saya besar saya bertanya – tanya
kenapa saya tidak diberi nama Yudhistira.

Hari ini saya membaca catatan pinggir-nya Gunawan Muhamad yang berjudul “Yudhistira”. Dan saya teringat cerita cerita bapak saya.

Yudhistira atau Bapak saya lebih suka menyebutnya Samiaji karena mempunyai arti yang pas menurutnya, Sami Aji…
sama – sama hormat, menghormati sesama.
adalah tokoh pewayangan yang menurut bapak saya paling sempurna.
Darahnya pun putih, karena sangat sabar, tak bisa berbohong, tak bisa menolak permintaan orang lain.
bahkan saat akan Bharatayudha, ia sempat tidak ingin berperang, tetapi akhirnya bersedia
setelah dibujuk oleh Kresna dan saudara -saudaranya.
Bahkan  saat ia berjudi dan kemudian kalah pun,
itu bukan karena kesalahannya tetapi karena bujuk rayu dan tipu daya, bukan karena dia yang bersalah.
Ada beberapa kisah yang cukup sering diceritakan oleh Bapak, saat saya kecil, salah satunya,
saat ia harus berbohong kepada Dorna, Guru yang ia hormati,
agar Dorna menjadi lemah dan bisa dibunuh.
Agar ia berteriak bahwa Awatama, putra Dorna, gugur,
walaupun sebenarnya yang mati juga bernama Aswatama tetapi seekor gajah.
Bahkan kebohongannya pun diselimuti dengan sebuah cerita
bahwa ia sebenarnya tidak berbohong karena yang mati
yang mati adalah juga bernama Aswatama, seekor Gajah.
bahkan setelah kematiannya Dorna pun ia menyesali,ia merasa bersalah.

Dan cerita kesempurnaannya pun,semakin sering diceritakan Bapak saya,
Bagaimana ia tidak merasa berhak untuk mengawini Drupadi karena yang memenangkan sayembara adalah Arjuna,
baru setelah dibujuk Kunthi ia bersedia menikahi Drupadi (dalam versi Mahabrata India,
Drupadi dikawini 5 Pandawa supaya adil)
Atau pada saat dicobai oleh Dewa Yama, adik adiknya meninggal semua,
saat ia harus memilih dari 4 adiknya, siapa yang dihidupkan ia memilih Nakula,
agar tidak hanya Putra Kunthi yang hidup tetapi juga Putra Dewi Madrim.
atau mungkin kisah yang bisa menunjukkan kesempurnaan Yudhistira,
di akhir cerita saat ia memilih untuk bersama saudara – saudaranya Pandawa di neraka daripada
tinggal di Surga tetapi hidup bersama Kurawa.
Sebelumnya bahkan ia memilih anjingnya daripada naik kereta kencana langsung ke surga,
karena anjingnya telah setia menemaninya.

Dulu saya selalu antusias dengan mata yang terpesona setiap kali Bapak bercerita tentang Yudhistira.
Dalam bayangan saya ketika saya kecil, Yudhistira adalah sosok yang ganteng, baik,
sempurna, tidak pernah berbohong, sabar,setia dan mencintai adik – adiknya dan menjadi tauladan bagi mereka
(mungkin bapak saya juga berharap saya seperti Yudhistira bagi adik – adik saya, menjadi kakak sulung yang baik)

Tetapi semakin besar saya jadi merasa bahwa Ia sosok yang terlalu sempurna sebagai manusia,
adakah manusia yang bisa sebaik itu dan sesempurna itu?
Saya membayangkan dengan sosok yang begitu smepurna, ia akan menyimpan begitu banyak rasa sakit,
menyimpan kesakitan – kesakitan.
Saya membayangkan saat Bharatayudha selesai, dan kemenangan ada di pihaknya, sambil memandang Kurusetra yang
merah dan penuh dengan jenasah saudara – saudaranya dan prajurit prajurit, apakah ia merasa sakit?
Menyesali peperangan yang telah terjadi dan kemudian merasa sangat bersalah?
Saya membayangkan sambil duduk di singasana, mencium bau amis darah dan tangis anak dan istri prajurit yang gugur,
ia mungkin tepekur.
Ya, di kisah Mahabharata memang diceritakan bahwa Yudhistira menyesali peperangan itu yang akhirnya
diredakan kegelisahnnya oleh Sri Kresna dan Resi Abiyasa.
Tetapi aku tetap membayangkan kegelisahan dan rasa sakit yang mendera dirinya.
Mungkin jika ia hidup di jaman sekarang, bukan di dunia pewayangan, ia akan sangat menderita.

Dan mungkin gara – gara sering diceritakan oleh Bapak saya, ia pun menjadi tokoh favorit saya di dunia pewayangan.

Kuningan yang saya ingat….

Apa yang bisa diingat dari sebuah kota? Selama hampir 2 bulan kemarin Kuningan lebih sering terdengar di berita – berita baik televise, radio atau Koran. Hampir tiap hari Kuningan menjadi berita yang terkait terorisme. Dan beberapa hari yang lalu tepatnya, 1 September, Kuningan berulangtahun yang ke 511. Sebelum itu apa yang bisa diketahui orang tentang Kuningan? Saya lahir dan menghabiskan remaja di Kuningan, setelah itu Kuningan hampir hanya menjadi sebuah kota tempat saya pulang sejenak, yang saya datangi minimal setahun sekali, ingatan saya tentang kota itu berarti ingatan sekitar 15 tahun yang lalu. Teman – teman saya di Jogja mengenal Kuningan sebagai pemasok penjual burjo alias bubur kacang ijo (warung tempat makan, saat paceklik dan saat insomnia datang) sementara teman – teman saya pendaki gunung mengenal Kuningan dengan Gunung Ciremainya. Sementara mungkin teman – teman dari daerah Priangan mengenal Kuningan dengan bahasa sunda yang kasar (dengan pengaruh bahasa jawa) dan logat sunda yang aneh menurut mereka. Atau mengenal kudanya dengan istilah “Leutik – leutik kuda kuningan”(kecil kecil kuda kuningan). Sebelum berita – berita itu orang mengenal kata Kuningan sebagai bagian dari Jakarta, dan kadang – kadang saya harus menjelaskan dimanakah Kuningan berada jika teman bicara saya mengatakan “oh orang jakarta”.(tetapi beberapa hari yang lalu saya menemukan gang bernama Gang KUningan di Balikpapan. dan di Jogja, ada daerah Kuningan juga di sebelah timur Mesjid UGM. Mungkin di tempat – tempat itu banyak orang dari kuningan. Saya mengingat Kuningan dalam kegembiraan masa kecil, sebuah keajaiban masa lalu, yang akan membuat saya bahagia jika saya diajak pergi ke sana. Mungkin bagi saya waktu itu, Kuningan seperti Jakarta di mata orang – orang daerah, Kota yang megah, yang membuat terpana. Saya selalu menyambut antusias jika diajak ke Kuningan, menyusuri jalanannya yang ramai (saat kecil, itu mungkin jalan yang teramai yang saya lihat) , kemudian naik delman, dan membeli hucap di Pasar Kepuh atau di depan kantor pos. Pergi ke Kuningan saat saya kecil, merupakan sesuatu hal yang istimewa, walaupun hanya berjarak 3, 5 Km dari desa saya. Saya juga mendengarkan dongeng – dongeng Bapak saya tentang Seweukarma dan Dangiang Kuning, tentang Arya Adipati Kuningan (setelah itu dibarengin protes kenpa ahari lahirnya tanggal 1 September, setelah berdirinya kerajaan islam kuningan, bukan sejak jaman kerajaan hindu..) Saat saya memasuki masa – masa SMP, pergi ke Kota Kuningan, bukan hal yang istimewa lagi, sesuatu yang biasa, saya bisa melakukannya tiap saat, setiap minggu sekali, naik angkutan pedesaan atau jalan kaki beramai – ramai melewati pesawahan. Hilang antusiasme dan mulai malu saatdiajak naik andong. Kadang – kadang saya dan teman – teman menonton film di bioskop murah, di Kuning Ayu kemudian ada bioskop di Plaza Kuningan. Seperti bioskop di kota lainnya pun akhirnya mereka berguguran, tak ada lagi bisokop. Menginjak SMA, pergi ke Kuningan sama sekali sesuatu yang biasa, maklum setiap hari saya melakukannya, bahkan mungkin pergi ke Kuningan selalu diiringi sedikit rasa malas, saya sekolah di sebuah SMA negeri di pusat kota. Setiap pagi, setiap jam 6:30 saya berangkat, terlalu sering terlambat gara – gara itu. Saya jadi mengenal cukup jauh ibukota kabupaten saya. Mengenal jalan – jalannya yang saya lewati setiap hari, bangunan – bangunan, toko – tokonya. Jalan protocol yang membujur dari utara ke selatan, bernama Jalan Silihwangi (tentu saja nama jalan yang sangat khas di Tatar Sunda), yang berujung di Plaza Kuningan (yang sudah berganti menjadi taman kota), yang di depannya ada Mesjid Agung Kuningan (setelah saya ingat ingat terus menerus di bangun). Banyak ingatan tentang kota ini. Tetapi apakah cukup untuk mengenalnya? Tidak. Tak ada yang bisa mengenal sebuah kota dengan utuh. Sebuah kota sellau memiliki sudut – sudut tersembunyi, kemuraman – kemuraman yang disembunyikan di balik lampu – lampu yang terang, bangunan – bangunan yang megah. Dan tentu saja jika seseorang malu (seperti kata seseorang) bahwa ia malu berasal dari Kuningan karena Kuninagn menjadi dikenal sebagai sarang teroris? Itu adalah bukan hal yang aneh, karena saya pikir ia tidak memahami bahwa sebuah kota begitu komplek, begitu rumit untuk dipahami secara utuh. Saya mengenal Kuningan sebagai kota masa kecil dan remaja saya, setelah itu Kuningan menjadi sebuah tempat untuk pulang. Bagaimanapun Kuningan adalah kota saya, dan saya bangga. Saya bangga mengatakan semua pedagang burjo itu dari Kuningan. Saya bangga dengan Ciremai-nya. Saya bangga bahsa sunda dengan logat kuningan yang dianggap aneh. Saya bangga mengatakan bahwa saya dari Kuningan Selamat Ulang Tahun Kuningan!!! Rapih Winangun Kerta Raharja!

Doa dalam Selembar Daun

Saya mengenal rutinitas harian bapak saya sejak saya kecil. Pagi dia bangun, kemudian dia akan sarapan dengan segelas kopi dan bila ada panganan kecil seperti pisang goreng atau ubi goreng. Setelah itu ia akan pergi ke kandang untuk memberi makan ternak dan kemudian dilanjutkan ke sawah atau ladang atau kebun, terkadang di kandang saja atau mencari pakan ternak. Bapak saya jarang membawa bekal, jika waktunya makan siang jika ibu ada pekerjaan lain sehingga ia tidak bisa mengantar makan siang maka bapak akan pulang. Tetapi jika bapak saya harus ke ladang yang jauh, (ditempuh dengan jalan kaki sekita 1 jam),ia hanya membawa sebotol air putih, sampai sore ia tidak makan, saya suka bertanya padanya apakah ia seharian tidak lapar? Waktu itu bapak cuma tersenyum dan nanti kukasihtahu kalau kamu ikut ke ladang. Maka suatu hari libur saya ikut bersama bapak ke ladang, langsung dari kandang, bapak hanya membawa sebotol air putih. Waktu itu ia harus menyiangi tanaman jagungnya yang rumputnya sudah mulai tinggi. Karena pagi tadi saya tidak sarapan, tentu saja baru sekitar jam sebelasan saya sudah lapar. Saya pun merengek minta pulang untuk makan. Saat itu bapak bilang nanti bentar lagi , pekerjaannya sedikit lagi selesai. Kalo kamu lapar ini kamu makan, kata bapak sambil mengambil selembar daun sawi, bapak terdiam sejenak sebelum memberikan daun sawi itu kepada saya. Mulanya saya bingung saat menerima daun sawi yang selembar itu, apakah itu cukup. Makanlah, kata bapak. Dan saya memakannya, anehnya beberapa saat kemudian saya tidak merasa lapar lagi. Bapak saya melanjutkan kembali bekerja dan saya kembali membantu bekerja dengan energi baru dari selembar daun sawi itu. Sekitar jam 2 kami pulang dan di perjalanan itu bapak baru bercerita tentang sebuah doa dan keyakinan. “Jika kamu punya keyakinan, selembar daun pun bisa memberimu energi yang besar. Mintalah pada daun itu dan pada yang memiliki daun itu dan kita. Ia akan memberimu energi bagi tubuhmu. Setiap yang kamu makan akan memberimu energi bahkan sebelum memasuki mulutmu pun ia akan memberi energi saat kamu mintaSeperti saat kau lapar dan berlari pulang menuju meja makan sesaat setelah membuka tudung saji, ada energi yang terpancar dari makanan yang teserap olehmu, maka dengan membuka tudung saji pun rasa laparmu berkurang” Beberapa tahun kemudian saya membaca buku “Celestine prophecy”. Dan saya berpikir apa yang tertulis disana telah diajarkan dan dilakukan oleh bapak saya sepanjang hidupnya. Tetapi ternyata tidak mudah untuk meyakini doa kita kan terkabul, bukan? Tidak mudah meyakini sesuatu. Selalu ada rasa ragu.

“nu di dahar pangersa Gusti
nu ngadahar karsa Gusti”

Sampai saat ini aku masih melafalkan doa itu setiap aku makan atau setiap kali menerima komuni. Doa pendek yang puitis.
Mungkin 20 tahunan yang lalu aku diajarkan doa ini.
Beberapa tahun kemudian aku menyadari doa ini doa yang sangat dalam seperti sebuah mantra, doa yang berisi penyerahan diri sebesar – besarnya kepada Yang
Kuasa, bahwa manusia tak punya kuasa apapun atas diri dan apa yang disantapnya. semuanya atas kehendakNya.

Dan doa ini diajarkan “Abah” dulu sekali dan aku masih sering melafalkannya.

Dan satu hal yang kuingat tentang gereja yang ia katakan ialah “aku pergi ke gereja bukan hanya karena ingin berdoa saja, tetapi aku ingin bertemu dengan saudara – saudara dan teman – temanku, dimana lagi bisa ketemu kalo semua teman dan saudaraku sibuk selain di gereja seminggu sekali”. mungkin kata –
katanya tidak persis tetapi itulah yang dikatakannya. aku baru mengerti kata – katanya lama sekali.
Ketika aku melihat film kisah Yesus, yang pergi ke yerusalem, ke Bait suci, aku mengerti kata – katanya, saat aku melihat Yusuf, Maria dan Yesus bertemu dengan saudara – saudaranya.
Bagi abah gereja bukan lagi sekedar tempat berdoa kemudian pulang.Aku belajar kembali memaknai gereja dari kata – katanya.

Aku memanggilnya abah, nama lengkapnya Didimus Ero Suara.ia adik nenekku, paman bapakku.
Ia satu – satunya, “kakek” yang ku kenal, sebab kedua kakek kandungku tidak pernah kukenal.
selain karena rumah kami berdampingan,aku mengenalnya sejak kecil, jadi keluargaku cukup dekat dengannya.
Aku memanggilnya abah, dan semua kerabat tahu kalo yang dimaksud adalah abah ero. aku tidak perlu menyebut namanya di belakang abah.cukup dengan abah, tidak seperti “kakek” yang lain.
Aku memang tak pernah mengenal kakek-kakek kandungku, tapi bagiku abah adalah kakekku, yang juga telah mengajarkan banyak hal baik lewat tindakan maupun perkataannya.

Seperti orangtuanya, atau kakeknya, abah adalah seorang petani. Ia mempunyai kebun, ladang, dan sawah. Seumur hidupnya ia petani, sampai beberapa tahun yang lalu ia masih suka pergi ke sawah, kebun atau ladang, terutama ketika ema masih ada.
Ia dulu mempunyai kebun kopi, setiap musim panen aku suka membantunya memanennya bersama bapak ibuku, wangi kopi yang masak di pohon (dan tentu saja wangi bunga kopi) aku menyukainya. Kemudian kebun kopi itu berganti dengan kebun melinjo, kemudian kebun pisang.Mungkin waktu aku kelas 6 SD ia pernah memberikan golok kecil padaku dan juga sabit kecil. Tetapi yang kuingat dengan jelas adalah rancatan atau pikulan yang kecil, yang ia buatkan untukku ketika aku belajar memikul.
Sebuah pikulan yang pas untuk tubuh kecilku. Pikulannya nyaman di bahuku.Tetapi abah memang terkenal dengan pikulan buatnya, makanya sering sekali pikulannya jika dipinjam tidak kembali. Pikulan buatan abah begitu halus, lentur tapi kuat, tidak kaku, nyaman dan awet. abah betul betul memahami sifat bambu yang lentur tapi kuat.
Ia sangat sabar saat membuat pikulan, ia akan memilih bambu yang baik, membelah dan memotongnya, kemudian menjemur bambu itu selama beberapa hari, baru kemudian membentuknya, setelah terbentuk ia akan menyimpannya di atas perapian, setelah itu baru menghaluskannya.
Butuh beberapa hari, kadang beberapa minggu untuk sebuah pikulan.

Pikulan milikku hasil buatannya bisa bertahan beberapa tahun dan kuat.

Dulu aku sering merasa takut masuk ke kamarnya, ada sebuah keris kecil di dinding kamarnya (aku tidak pernah melihat persis sebenarnya, hanya diceritakan) karena dulu aku ditakut – takuti kalau keris itu suka berontak, suka mengeluarkan suara – suara di malam hari. Sampai besar pun aku tak pernah membuktikan untuk melihat keris itu, tetapi kadang – kaang aku melihat kamar itu dengan sembunyi – sembunyi dan takut – takut, tetapi aku melihat salib kecil di kamar itu. Terakhir aku masuk kamar waktu libur paskah (terakhir kali juga aku melihatnya) untuk pamit, ia sedang terbaring karena tidak enak badan, katanya, aku masih juga tidak berani apakah benar ada keris di kamar itu, mungkin ketakutan masa kecilku masih ada pada diriku.Tetapi bagian dari rumahnya yang aku suka sampai sekarang adalah dapur. Dapur yang hangat dengan hawu atau tungku kayu bakar. Dapur yang hangat, bukan hanya hangat api tetapi hangat oleh kasih sayang mereka, ema dan abah.Dapur menjadi tempat berkumpul terutama saat anak – anaknya datang.Setiap aku masuk ke rumahnya (pagi atau sore) aku akan ditawari kopi, kadang
– kadang kopi hasil dari kebunnya. Dan di dapur itu akan kudengar nasehat atau cerita tentang leluhur.

2 minggu yang lalu aku dikabari ibuku, abah tiada. Malamnya mungkin untuk sebuah kenangan, aku tidur berselimutkan sarung warna biru tua yang diberikan olehnya beberapa tahun yang lalu. sebuah sarung yang telah kulepas jahitannya (sarung itu bukan lagi sarung tetapi menjadi sebuah kain panjang).
Sarung itu telah kubawa kemana-mana, Kuningan, Jogja, Balikpapan, setiap kali melakukan perjalanan aku selalu membawanya, setiap mendaki gunung atau kemping aku juga membawanya, mungkin karena itu satu – satunya sarung sampai 3 tahun yang lalu.

Ya, kali ini aku ingin mengenangnya. Mengenang bau rokok minak jinggonya yang ia hisap sambil menyeruput kopi di dapurnya sambil memperhatikan ema yang sedang memasak. Mengenang gigi palsunya yang sering ia copot di depan adikku, untuk menakut – nakuti adikku yang kemudian menangis kaget karena melihat abah tiba tiba ompong.
mengenang tv hitam putihnya yang selalu kutuju setiap sore sebelum bapakku membeli tv (terutama sabtu sore menanti film nasional lalu malamnya bapak ibuku akan menyusul.
Mengenang nasehat nasehatnya juga cerita – ceritanya (bahkan terakhir ketemu pun ia masih memberi nasehat “jung mangkat, didoakeun ku abah, sing bener, bageur, cageur tur pinter”(berangkatlah, didoakan oleh abah, semoga benar, baik, sehat dan pintar)) dan saat cerita terakhir yang kudengar dari bapakku ia meminta dipesankan peti dari kayu jati, sebab jati itu lambang sejati ning hidup.
Mengenang cara ia berjalan sambil menggendong tangannya di belakang sepulang ia dari sawah.

Dan semiggu yang lalu, di hari ketujuh ia pergi, aku menengoknya di rumah barunya, di atas bukit dekat
kebunnya, di samping istrinya dan kutaburkan bunga di atas tanah merah itu sambil berdoa dan berucap

“Hatur nuhun, abah”